Seminggu di Italia

Sudah bukan rahasia umum jika mahasiswa master yang kuliah di Eropa itu kebanyakan mengisi waktu liburannya ke negara lainnya. Bukan karena uang beasiswanya melimpah tapi lebih memilih untuk tidak pulang ke Indonesia karena harga tiket pulang ke ibu pertiwi itu bisa tiga kali lipat lebih mahal dibandingkan berlibur seminggu ke negara lain (sudah termasuk tiket, akomodasi, dan makan).

"Kamu itu pasti harus pulang ke Indonesia. Ketika memang ada kesempatan tinggal di negara dan benua lain ya dimanfaatkan untuk belajar lebih banyak dan liburan itu bonus. Lagipula kalau pulang biayanya lebih mahal kan?," kata Mamah di telpon ketika saya bilang akan kuliah di Denmark diakhir tahun 2015.

Sejak kuliah di Denmark sampai exchange di Belanda, saya sudah beberapa kali melakukan perjalanan bersama teman-teman mulai dari berempat, berbanyak, bertiga, sampai sendirian. Nah kalau jalan-jalan, saya paling sering jadi tukang buat ittinenary tapi males lihat peta digital waktu eksekusi karena males pegang smartphone. Hal ini berubah ketika saya mulai senang liburan dengan jumlah orang yang lebih sedikit yaitu berdua waktu musim panas 2017 lalu. Saya dan teman buat rute lalu explore dan mencari jalan berdua dan mau tidak mau saya dipaksa lihat peta. Jadi teringat ketika pramuka dan persami ketika masih sekolah dulu jadinya. Ah saya termasuk anak pramuka yang tidak gemilang-gemilang amat. Cukup berpartisipasi sampai pesta siaga saja sudah bahagia.


The one and only famous Duomo in Milan
Entah kenapa saya tertarik sekali dengan Italia dan membuat saya ingin pergi ke sana walaupun seorang diri. Mungkin karena dulu nonton world cup tahun 2006 dan yang menang Italia. Ah entahlah. Negara ini terlalu seksi jika diilustrasikan. Akhirnya liburan pergantian blok lima ini saya ada kesempatan untuk berlibur ke negara asal Gianluigi Buffon selama satu pekan bersama seorang teman, Stephanie, dengan bekal buku dari Lonely Planet. Berikut list kotanya dalam satu minggu:
  1. Milan (Hari ke 1 dan 2)
  2. Venice (Hari ke 3)
  3. Florence (Hari ke 4, 5, dan 6)
  4. Cinque Terre (Hari ke 5)
  5. Roma (Hari ke 6 dan 7)
Kami memulai perjalanan dari Milan karena tiketnya paling murah dengan Ryan Air seharga Rp 975.000,- dan pulang dari Roma dengan harga tiket Rp 850.000,- dari Ciampino airport. Kami tiba di Milan Bergamo sekitar pukul 22.50 CET dan butuh trasportasi menuju Kota Milan Central menggunakan shuttle bus seharga 5 euro. Pertama kali sampai di Central kami sudah kebingungan mencari halte bus yang tidak jelas dan akhirnya membuat kami lari-larian menghindari kotoran dari burung-burung yang menggantung di atas pohon. Untungnya selamat sampai rumah salah seorang teman yang kuliah di sana, Ica.

Keesokan harinya kami berkeliling kota Milan dengan berjalan kaki dan tidak lupa menikmati tour dengan menggunakan tram 1 karena sudah membeli tiket 24 jam. Jadi untuk pelancong yang malas seperti saya dan Tep, sapaan akrab Stephanie, bisa mencoba alternatif jalan-jalan sambil duduk santai menikmati angin dan pemandangan kota Milan. Katanya, kalau ke Milan belum lengkap kalau belum makan Spontini Pizzeria. Menurut saya, tempat makan pizza ini memang tepat dijadikan referensi karena porsinya yang besar dan ramah untuk saya karena margherita tidak mengandung daging namun tetap bisa minta tambahan daging jika berkenan. Namun, saya tidak bisa menjamin keju yang digunakan itu diproses menggunakan rennet dari mana. Jadi untuk yang benar-benar memperhatikan tingkat ke-halal an nya kurang saya sarankan atau mungkin bisa menanyakan pada pihak tempat makannya.

Satu porsi pizza margherita tanpa daging seharga 3.5 euro
Sore harinya kami melanjutkan perjalanan menuju Venice menggunakan kereta selama 4 jam. Keesokan harinya kami menikmati Pulau Venice yang berkabut dari pagi hari hingga sore. Setelah review beberapa blog, memang benar kalau mau menikmati Venice itu mulai dari pagi sekitar pukul 8 pagi ketika belum banyak turisnya karena bisa merasakan Venice tanpa berdesakkan. Dari tempat kami tinggal di Venice Mestre menuju Pulau Venice bisa membeli tiket bus seharga 2.5euro di loket. Kami memutuskan hanya akan menikmati Pulau Venice tanpa berkeliling ke pulau-pulau lainnya karena kondisi cuaca yang berkabut. Kalau mau berpetualang ke pulau lain bisa beli tiket 24 jam dan bisa nyebrang menggunakan kapal dengan harga sekitar 20 euro.

Gloomy Sunday

Sebelum menuju ke Ponte Vecchio
Setelah puas mencari lokasi film The Tourist, kami melanjutkan perjalanan ke Florence. Jadi teringat ketika dulu saya belajar sejarah dan membahas tentang masa Renaissance dan menurut saya, kota Firenze ini itu cantik! Waktu saya ke Palazzo Vecchio dengan membayar tiket seharga 12 euro untuk mahasiswa, saya merasa kurang puas karena kurang atraktif. Mungkin karena ekspektasi saya teralu tinggi terhadap museum-museum di Eropa. Sebelum masuk, saya sudah membayangkannya seperti beberapa museum modern yang sudah saya kunjungi di Polandia dulu. Untuk Tep, Florence ini sukses mengajak dia nostalgia dengan buku-buku Dan Brown.

Batti batti, salah satu tempat yang menjual fritto misto atau seafood di Vernazza
Sore itu di Manarola
Kami menginap selama tiga hari namun besoknya kami menuju Cinque Terre! Rasanya seperti salah kostum karena pakai jaket tebal tapi perginya ke pantai. Buat kita berdua, ini adalah highlight dari perjalanan seminggu ini. Sepi, angin, ombak, dan birunya air laut sukses membuat kita berdua jatuh cinta pada salah satu Unesco World Heritage Site sejak 1997 ini. Di sini ada lima desa yang berada di pesisir pantai dekat laut Ligurian dengan karakteristik yang berbeda-beda dari mulai pesisir pantai sampai desa yang tidak memiliki akses ke pantai sama sekali.  Menggunakan Cinque Terre day pass, sudah bisa digunakan untuk naik kereta ke lima desa, masuk ke taman nasional, dan juga ke kamar mandi gratis yang mencantumkan logo khusus. Kami mulai menjelajah dari Monterosso al Mare, Vernazza, Corniglia, Manarola sampai Riomaggiore. Sayangnya jalur hikingnya masih ditutup akibat banjir tahun 2011 silam. Jangan lupa menikmati deep fried seafood seharga 12 euro yang rasanya mengalahkan harganya yang bisa dibilang "lumayan" meguras kantong mahasiswa ini.

Salah satu sudut di Riomagiore
Must have picture!
Puas di Florence dan Cinque Terre kami menuju ibu kota negara, Roma. Dua hari rasanya tidak cukup untuk menjelajah sejarah Julius Caesar dan menelusuri seluk beluk bangunan Roman Empire yang tersisa. Rasanya pelajaran Sejarah ketika SMA seperti nyata, terimakasih Pak Sartana sudah mengajarkan banyak hal pada saya dan teman-teman dahulu. Di sini saya dan Tep akhirnya tau kalau spaghetti instan yang suka kami beli di Indonesia itu tidak seperti aslinya di Italia. Ini nih kalau makan cuma taken for granted aja.

Jalan berdua dengan perbedaan agama tidak membuat kita terganggu sama sekali. Tep selalu jagain barang bawaan kalau saya sholat dan saya juga nungguin dia kalau dia mau berdoa di gereja-gereja yang kami kunjunggi. Dia juga rela kompromi nyari tempat yang menyediakan menu vegetarian agar saya bisa makan. Di Roma kami makan spaghetti di Pastificio dan tiramisu di Pompi. Pastificio adalah alternatif makan murah seharga 4 euro di kota Roma yang mahal dan yang paling juara udah dapet air putih. Kalau makan di sini harus siap antri dan rame jadi jangan membayangkan makan sambil duduk manis ya. Baik di Pastificio dan Pompi ini ramah untuk muslim karena menyediakan yang non pork dan non alcohol.

Diabadikan oleh Stephanie ketika sedang makan dipojokan

Tidak perlu dideskripsikan, Anda pasti tau
Untuk yang rindu akan sesak dan ramainya ibu kota seperti Jakarta, Roma adalah tempat yang cocok untuk mengobatinya. Cukup naik metro dan rindumu akan sedikit berkurang. Sesak tapi ngangenin! Buat yang selalu dititipin magnet sama mamah di rumah seperti saya, Roma cocok buat belanja karena harganya 1 euro saja dibandingkan di Copenhagen yang sampai 5 euro. Lumayan sisa uangnya bisa buat beli beras.

Buat saya, perjalanan kemarin mengajarkan banyak hal dan jadi momen tepat untuk berkontemplasi tentang pribadi yang masih banyak celanya ini. Kembali memikirkan kehidupan setelah balik dari Belanda dan tinggal di Copenhagen lagi. Kemudian inget ketika mau ke Italia harus ngurus visa ke imigrasi karena residence permit belum jadi (kembali baper). Kembali teringat pada sepeda saya yang kedinginan di parkiran ketika ditinggal ke Itali. Liburan sudah usai, kuliah dimulai. Grazie Stephanie e Italia!

Comments

Popular posts from this blog

Mudahnya Pinjam Buku di Denmark

Labor’ Social Welfare Related to Health in Indonesia

Changing Diets for Sustainable Food and Nutrition Provision 2050